Seperti biasa, Saya jika sedang
massage dengan tukang urut langganan, namanya Mak Eeng selalu ngobrol sambil
diurut. Mak Eeng cerita, sebelum lebaran kemarin mengurangi aktivitas mengurut
karena lagi banyak pesanan kue lebaran dan katering untuk buka puasa dan sahur.
Beliau pun membawa sampel kue nastar yang rasanya lebih enak dari yang saya
beli di supermarket.
“Saya bertanya, kok kue nya enak
sekali, Mak. Resepnya dari mana?”
“Resep saya sendiri, Neng. Emak
kan dulu sekolah di Sekolah Kepandaian Putri. Kalau sekarang katanya sekolah
kejuruan ya, Neng? Gak ada lagi sekolahan emak yang dulu. Enak Neng. Gak perlu
sekolah sampai kuliah, tapi segala bisa, diajarkan masak, bikin kue dan
menjahit. Ilmunya kepake sampe sekarang.” Katanya.
“Wah asyik tuh, Mak. Terus
belajarnya selain masak dan menjahit ada lagi pelajaran lain?” Tanya saya
penasaran.
“Belajar ya biasa aja Neng, ada
Bahasa Indonesia, Matematika dan lain-lain. Cuma banyakan keterampilannya.”
Di usia yang sudah tak muda lagi
tapi Mak Eeng masih produktif dan suka membagikan ilmu masak ke anak cucu atau
tetangganya yang mau belajar. Mengurut sudah turunan dan sekarang menjadi
pekerjaan utamanya. Kalau terima pesanan hanya musiman saja. Dan Mak Eeng
mengerjakan semuanya sendiri. Kalau dibantu orang malah tambah capek katanya.
Cerita Mak Eeng mengingatkan pada
kondisi Indonesia sekarang yang banyak lulusan perguruan tinggi tapi belum bisa
memenuhi kebutuhan dunia industri karena kualifikasi yang tak sesuai. Atau
banyak mahasiswa dan pelajar yang hanya mengejar ijazah tanpa mendalami skill yang ditempuh di sekolahnya.
Data Tahun 2014 dari
Badan Pusat Statistik (BPS) bahwa pengangguran berpendidikan di
Indonesia mencapai 495.143 orang dengan rata-rata bergelar sarjana. Kalau saja
Mak Eeng dapat berkarya hingga usianya yang melampaui usia produktif, mengapa
para lulusan sarjana banyak yang menganggur?
Skill adalah faktor utama yang menentukan diterima atau tidaknya di
suatu perusahaan. Sekarang skill yang
banyak dibutuhkan untuk bekerja selain global skill juga digital skill dan
kemampuan berkomunikasi. Otomatis bahasa asing pun menjadi nilai plus untuk
menembus persaingan ketat di era Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) ini.
Tahun 1980-an saat saya masih SD,
ingat sekali saat itu ada sekolah-sekolah kejuruan yang lulusannya rata-rata
mudah mendapatkan pekerjaan. Misalnya, SPG (Sekolah Pendidikan Guru) SGO
(Sekolah Guru Olah Raga) SMEA (Sekolah Menengah Ekonomi Atas) STM (Sekolah
Teknik Menengah) SMF (Sekolah Menengah Farmasi) SAA (Sekolah Asisten Apoteker)
SMSR (Sekolah Menengah Seni Rupa) SMKI (Sekolah Menengah Karawitan Indonesia) Sekolah
Menengah Pariwisata dan lain sebagainya. Lulusannya rata-rata mudah mendapatkan
pekerjaan di masanya. Jika ingin menambah kualifikasi melanjutkan sampai bangku
kuliah. Tapi so far mereka sudah
punya skill dasar jika tak mampu
melanjutkan kuliah karena faktor biaya.
Skill-skill dasar tersebut bisa diperdalam ketika masih menempuh
pelajaran, siswa dituntut berkembang sendiri dengan kreativitas dan sikap
inovatifnya. Dijamin setelah lulus dapat ready
to use untuk banyak industri yang relevan dengan latar belakang pendidikannya.
Intinya, perbanyak praktek, kritis dalam menjalankan skill dan mau mengikuti perkembangan serta tidak takut terhadap
perubahan.
Saya sendiri dulu tak masuk
sekolah kejuruan dan masuk SMA pada era penjurusan A1 (Fisika) A2 (Biologi) A3
(Sosial) dan A4 (Bahasa). Walau bukan sekolah kejuruan tetapi sama saja, ada
pengarahan menuju minat jurusan bidang pendidikan untuk ke depannya. Misalnya,
untuk jurusan Fisika dan Biologi bisa menjadi bekal untuk kuliah di kedokteran,
kebidanan atau lain-lainnya. Sosial, bisa jadi bahan bekal untuk kuliah di
perekonomian, psikolog dan lain-lainnya. Juga bahasa yang lebih luas cakupannya
karena merupakan pembuka segala bidang ilmu.
Di SMA pun ada pelajaran
Bimbingan Karir (BK) Pelajaran ini sangat membantu mengarahkan siswa sebagai
gambaran cita-cita ke depannya mau jadi apa atau lebih minat ke bidang apa?
Setiap profesi dijelaskan dan apa saja yang dibutuhkan untuk menuju cita-cita
tersebut.
Saya tertarik membahas soal
sekolah kejuruan yang mempunyai spesifikasi skill
yang dibutuhkan perusahaan karena menurut pengamatan saya, dari orang-orang
yang saya temui dan lulusan sekolah kejuruan, mereka mendapatkan pekerjaan
sesuai pendidikan. Banyak juga yang sudah tak bekerja di perusahaan tapi
membuka peluang sendiri berbekal skill yang
diperolehnya dari sekolah kejuruan tersebut.
Selain Mak Eeng, lulusan sekolah
kejuruan zaman baheula yang masih
survive dengan karyanya di usia senja, ada lagi teman sebaya saya, namanya Ana.
Lulusan Sekolah Menengah Farmasi dan lulusan Sarjana Lingkungan. Tetapi dalam
pekerjaannya sekarang ini, lebih banyak terpakai dari sekolah farmasinya yang
level sekolah menengah. Bahkan Apotek dan Rumah Sakit mencari dia bukan dia
yang mencari pekerjaan.
Jadi, kesimpulannya sekolah apa pun jika bisa
diperdalam dengan baik skill nya,
akan menuai hasil dan karya yang maksimal. Sekolah kejuruan merupakan salah
satu solusi untuk membekali skill
dasar yang ready to use. Jika ada biaya
sebaiknya melanjutkan ke perguruan tinggi, selain sebagai penambahan
kualifikasi juga biar disiplin ilmunya kuat. Dan lulusan perguruan tinggi harus
bisa lebih berkarya dan lebih hebat lagi dari para lulusan sekolah menengah
kejuruan yang sudah mampu dan siap bekerja di perusahaan-perusahaan.
Apalagi kalo skill-nya sesuai bakat minat ya, mbak, wah cetar membahana tuh. Tapi kapan ya ada sekolah kejuruan yang membahas tentang blogging, SEO, media sosial spesialist dsb --- ngelantur :)
ReplyDeleteSekolah dimana pun sama aja baik di Negeri atau Luar Negeri (alias Swasta) yang terpenting adalah niatnya yaitu tholabul Ilmi, selamat pagi mbak hehe :)
ReplyDeleteIya sekolah kejuruan memang lebih bisa mengerucut sesuai minat dan bakat. Kalau utk bekerja jg cpt, tp utk kondisi di Indonesia biar karirnya bagus hrs melanjutkan kuliah ya hehe..walau kemampuan nya tinggi misalnya gaji msh kalah sama S1 yg kemampuannya di bawahnya :)
ReplyDeleteMenurutku, sekolah kejuruan memang lebih mengajarkan siswa2nya lebih mandiri karena ada banyak jam praktek yg diberikan setelah pemahaman teori.
ReplyDeleteSempat kepikir kalau esemka itu buanga anak anak yg ga lolos seleksi sMA aja. Tapi ga semua esemka gitu...sekarang malah makin berkembang balik kayak jaman dulu ya mba
ReplyDeleteeeuh.. bagus eung tulisannya...
ReplyDeleteLebih spesifik ya Mbak skill yang dipelajari.. di sekolah kejuruan.
Kalau menurut saya mah mending smk karena dengan masuk smk akan diberikan pengalaman kerja yang sesuai dengan jurusan yang diambil dan kemungkinan untuk menguasainya juga cukup besar karena selama 3 tahun selalu diasah tentang materi kejuruannya.
ReplyDeleteJadi ingat waktu itu saya kuliah di politeknik dimana 70% praktik dan 30% teori. Dan itu melatih skill banget Teh :)
ReplyDeleteSkill memang perlu sekali buat masa depan ya mbak. Sudah tua gini baru nyadar, kenapa dulu waktu muda tidak menambah skill sebanyak-banyaknya.
ReplyDeletesetuju teh. SMK itu kelebihannya adalah lulusannya mandiri dan siap menghadapi dunia kerja karena sudah dibekali dengan skills.
ReplyDeletewww.talkativetya.com
Bener juga yah, mau pinter secara akademik, tapi skill gak punya, bisa kalah jg ya
ReplyDeleteAnak sulungku juga milih sekolah kejuruan, lumayan untuk bekal kuliah juga sih meski jurusannya beda
ReplyDeleteaku lebih suka anakku juga sekolah kejuruan *lirik diri sendiri yang hilang moment*
ReplyDeleteApalagi sekarang, sekolah kejuruan juga sudah mempelajari koding aka bahasa pemrograman basic. Jadi mereka siap banget. Ga kaya saya yg sempat blank dengan programming pas kuliah.
ReplyDeleteaku pengen masuk kejuruan dulu cuma papa mama g bolehin
ReplyDelete