Gula Indonesia dulu
sempat mengalami kejayaan. Ekspor melimpah dan kualitas prima. Mampu memasok
kebutuhan negeri sendiri juga. Namun itu tinggal kenangan manis saja. Kini Gula
Indonesia mengalami keterpurukan, dari segi produksi maupun kualitasnya.
Mengetahui tentang Gula
Indonesia, saya tak melewatkan untuk menghadiri Seminar Nasional serta Diskusi
bertema “Gula Indonesia Mampukah Berdaya Saing?” Dengan Narasumber Dr. Ir Agus Wahyudi,
MS, Direktur Tanaman Semusim dan Rempah- Dirjenbun, Prof. Dr. Ir. Agus
Pakpahan, Direktur Eksekutif Asosiasi Gula Indonesia (AGI), dan Agung Primanto
Murdanto, Sekjen Ikatan Ahli Gula Indonesia (IKAGI).
Diskusi bertempat di Gedung Pusat Informasi Agrobisnis
(PIA) Kementerian Pertanian Jakarta Selatan. Difasilitasi oleh Media Perkebunan
dan dimoderatori oleh Ir.Gamal Nasir.
Keprihatinan Gula
Indonesia saat ini, terlihat dari data produksi gula hanya 2,5 Juta ton dan
areal tebu 450 ha dengan produktivitas gula sebanyak 5,55 ton per ha.
Diharapkan ada peningkatan dalam kurun waktu 2019/2020 sebanyak 0,50 Juta
Ton(Produksi gula), 50 ribu ha (Areal tebu) dan 0,45 ton per ha.
Keterpurukan gula ini,
menuai pemikiran-pemikiran berbagai pihak untuk mendapatkan solusi terbaik untuk
mengembalikan kejayaan Gula Indonesia. Setidaknya bisa mencukupi kebutuhan
lokal dulu tanpa harus impor.
Berikut adalah kendala
dan permasalahan yang dihadapi atas produksi gula yang dijelaskan Agung
Primanto, Sekjen IKAGI menjelaskan tentang optimalisasi industri gula :
Kurang
Areal Tanah, tempat adalah kebutuhan utama dalam
memproduksi sesuatu, apalagi ada hubungannya dengan tanam menanam. Untuk
menanam tebu sebagai bahan dasar gula saat ini sulit mendapatkan areal yang
luas karena sebagian besar sudah dijadikan areal lain atau para petani sudah
tidak bergairah menanan tebu di arealnya sendiri karena merasa tidak diakomodir
masalah pemasaran tebu yang ditanamnya.
Solusinya: Dengan
keterbatasan lahan ini, sebaiknya produsen gula bekerja sama dengan para petani
tebu untuk memperoleh produksi tebu yang mencukupi. Misalnya, dengan
mengoptimalisasikan lahan para petani sebagai lahan tebu yang bisa dipasarkan
langsung ke pabrik. Jadi, pabrik gula bisa kerja sama memasok tebu dari para
petani lokal sehingga keuntungan didapatkan sama-sama.
Keterbatasan
Infrastruktur, Selama ini, penghasil gula terbesar
adalah Jawa dan Lampung. Terkait infrastruktur sangat terbatas untuk
pengembangan di luar jawa. Sehingga memperlambat produksi gula.
Bibit
Unggul Berkurang, Seiring berkurangnya tenaga kerja sektor
budi daya, produksi bibit unggul pun ikut berkurang mengingat tidak banyak lagi
creator bibit unggul yang dapat
memasok kebutuhan penanaman tebu yang berkualitas. Terkesan apa adanya.
Terbatasnya
Modal, Perkebunan tebu pun memerlukan modal yang tak
sedikit mengingat banyak sekali poin yang harus dibiayai, mulai penyediaan
bibit unggul, penyediaan lahan, pupuk dan penerapan teknologi. Selayaknya bank
dan institusi keuangan dapat membantu hal ini.
Kurangnya
Sarana Irigasi, pengairan sangat penting bagi kesuburan
tebu sebagai bahan baku utama gula. Sarana ini harus diperluas terutama untuk
lahan kering.
Pabrik
Gula Berumur, mengakibatkan tingkat efisiensi rendah
dan terkesan apa adanya tanpa pembaharuan atau penyegaran sehingga produksi
lambat dan hasilnya kurang berkualitas dan ini berpengaruh pada nilai daya
saingnya.
Untuk mengatasi semua
masalah tersebut harus ada sinergi antara Pabrik Gula dan petani. Termasuk soal
perluasan areal. Bahkan, jika pabrik gula mau memberdayakan petani lokal dengan
menggunakan lahannya, bisa mempertahankan kejayaan produksi gula.
Perlu dilakukan
revolusi dalam pemberlakuan aturan masalah gula ini, salah satunya soal
kebijakan impor gula. Selain revolusi juga harus menerapkan inovasi.
Pabrik gula di desa
bisa menyerap pekerja yang yang tidak ke kota, dapat menjadi salah satu ketahanan
nasional. Kebijakan soal gula harus merujuk pada keuntungan yang memihak pada
masyarakat bukan pada pengusaha saja.
Swasembada pangan perlu
memerhatikan faktor-faktor kepentingan yang ada di dalamnya.
Intinya, perluasan
areal dan peningkatan produksi gula tersebut memerlukan dukungan infrastruktur
dan berjalannya revolusi kebijakan perilaku serta sinergi semua pihak untuk menjalankannya.
Gula harus bangkit menjadi salah satu ketahanan nasional kembali.
Jadi inget jaman kecil dulu, saat area lahqn tanaman tebu masih banyak. Saya dan teman2 suka ngambilin tebu. Hehehe. Skg mah, dah abis dijadikan hunian.
ReplyDeleteMiris, ya? :( Padahal mayoritas masyrakat indonesia suka gula.
ReplyDeleteSekarang tanah banyak dijadiin perumahan. :(
ReplyDeleteKenapa gula Indonesia makin merosotnya? Padahal dulu sangat berjaya. Apakah maraknya gula import yang tak terbendung atau support pemerintah terhadap petani gula yang minim? Atau memang daya saing petani gula Indonesia rendah? Sayang banget banyak perkebunan tebu yang mati. Semoga ke depan Industri gula Indonesia jadi lebih baik.
ReplyDeletesetuju sama poin 3 dan 4
ReplyDeletejadi inget petani2 di kampung...