Sudah hampir dua tahun
saya mengikuti perkembangan kelapa sawit yang dibahas pada acara-acara talkshow
dan workshop Kementerian Pertanian RI melalui Media Perkebunan. Awalnya saya
menanggapi biasa saja dan sepintas lalu menyimak tanpa memikirkan nasib dan
masa depannya.
Ketidakpedulian saya di
sesi-sesi workshop berlanjut hingga sesi undangan yang ketiga kalinya. Namun di
sesi berikutnya tersebut saya berusaha menyelami dan mencari banyak informasi
dari beberapa sumber selain googling, membaca dan menyimak lebih cermat paparan
narasumber, saya juga berusaha cari tahu dengan ngobrol bersama narasumber usai
acara.
Tema berat dan bukan
bidang saya banget. Tapi saya berusaha memahami dan mensyukuri bahwa saya
berkesempatan mengikuti acara ini dan mendapatkan wawasan yang mendalam tentang
kelapa sawit maupun perkebunan lainnya.
Pada Seminar Nasionaldi Jakarta Convention Center 11 April 2017 lalu, saya mulai tersentak dan baru
menyadari bahwa peranan kelapa sawit itu bagaikan hero buat Indonesia. Kelapa sawit dan turunannya berperan penting
dalam perekonomian Indonesia. Menghasilkan kelapa sawit dengan komoditi
terbesar di dunia dan penghasil devisa negara paling tinggi di samping batubara
dan Energi Geothermal.
Rasa nasionalisme saya
mulai terusik saat mengetahui keberadaan kelapa sawit terdzolimi oleh negara
lain yang takut tersaingi dengan minyak nabati produksi mereka yang terbuat
dari biji bunga matahari, kedelai dan jagung. Bayangkan, 37 Juta Ton per tahun
untuk CPO (Crude Palm Oil) yang
diproduksi Indonesia dengan value tinggi, siapa yang gak bakalan sirik kan?
Tadinya saya yang ogah-ogahan menjadi tersentil dan ingin
memberitahukan kondisi sawit yang sebenarnya. Komoditi ekspor dan pahlawan
terhadap perekonomian Indonesia harus tersingkir dan dipandang sebelah mata
serta diserbu oleh opini-opini negatif yang diberitakan di media massa tanpa diverifikasi.
Dari situ, saya mulai
peka, tidak mau serta merta percaya dengan pemberitaan negatif tentang sawit
yang diusung LSM yang notabene dibiayai pihak yang berkepentingan untuk
menjatuhkan sawit Indonesia. Saya malah ingin memajukan sawit dengan kapasitas
saya sebagai penulis blog. Dengan menyebarkan opini positif sesuai data akurat
dan hasil dari narasumber.
Salah satu pendorong
kemajuan sawit Indonesia, agar tak dipandang sebelah mata, tentunya harus menghasilkan
kualitas paling bagus di dunia dan berangkat dari benih sawit yang telah lulus
uji coba serta memenuhi standar ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil System) agar sawit Indonesia berdaya saing dengan
pasaran luar negeri.
Kebijakan ISPO dibuat pemerintah dengan menyesuaikan kondisi
lahan, cuaca, riset untuk menciptakan varietas unggul, dan mempertimbangkan
kesejahteraan petani.
Pada 10 Agustus 2017 di Menara 165 Jakarta, kembali saya
menghadiri Diskusi Nasional tentang sawit. Kali ini, mengangkat tema “Prospek Benih Sawit 2018” sekaligus peluncuran
dan bedah Buku “I’m Proud To Be an Oil
Palm Breeder” Karya Razak Purba.
Tema ini mengangkat masalah sawit yang semakin lama
terpinggirkan dan belum terlihat kemajuannya dalam peningkatan kualitas. Mulai
dari lahan yang semakin menyempit, perkebunan rakyat yang tergusur, pihak
swasta yang masih jauh dari kerja sama dengan petani lokal dan produksi benih
yang masih minim kualitas.
Diskusi Nasional ini dihadiri pembicara yang ahli di
bidangnya, diantaranya Ir. Bambang, MM (Direktur Jenderal Perkebunan
Kementerian Pertanian RI), Ir.Gamal Nasir dan dari Dinas Perkebunan Provinsi
Riau serta sejumlah pejabat terkait dan penulis buku Razak Purba.
Pembahasan lebih ke soal benih sawit yang kian hari kian
menurun disebabkan petani banyak yang membeli benih pada pihak-pihak yang tidak
direkomendasikan. Tidak memenuhi standar hasil riset dan kriteria yang
ditetapkan dalam ISPO.
Banyak petani yang membeli benih sawit dari toko benih yang
memalsukan merek bahkan karena benih tersebut murah maka petani akan memborongnya,
padahal untuk jangka panjang hasilnya ditentukan dari kualitas benih yang
ditanam.
Produksi benih harus berbanding lurus juga dengan
pengembangan lahan. Selama ini masalah lahan yang bersinggungan denagn area
hutan dan solusinya akan didiskusikan dengan Kementerian Lingkungan Hidup.
Maka dari itu, pemerintah menganggarkan biaya untuk
peremajaan lahan sebanyak 20.780 hektar untuk selama 2017. Peremajaan lahan ini
melibatkan para petani swadaya sehingga provinsi daerah dan masyarakat
disinergikan serta sama-sama melakukan pengawasan. Petani dengan kebun sawit
swadaya ini lebih diutamakan dalam mendapat kesempatan untuk peremajaan untuk
kebun sawitnya. Tentu saja petani terpilih sudah melalui berbagai rangkaian test.
Peremajaan hutan ini sangat penting untuk menghasilkan
kualitas benih sawit yang sesuai standar. Sebaiknya memang tanaman sawit yang
sudah tua dan berbagai faktor lainnya harus dilakukan pembaruan agar sawit
tumbuh dengan baik dan mendunia.
Perkembangan program peremajaan kelapa sawit dalam kerangkapendanaan
BPDPKS Tahun 2017 pelaksanaannya berdasarkan Keputusan Dirjen Perkebunan No.29
KPTS/KB/120/3/2017 serta Peraturan Menteri Keuangan No.84/PMK/05/2017.
Kriteria peremajaan pada usia 25 tahun tanaman sawit atau
produktivitas paling tinggi 10 ton TBS/ha/tahun. Dalam hal ini tentunya ada
pengawasan bersama antara pemerintah, petani dan masyarakat. Sebab alokasi dana
untuk peremajaan ini harus benar-benar tepat penyalurannya.
Tata kelola peremajaan kelapa sawit ini diajukan berjenjang mulai
kabupaten/kota, provinsi, Ditjen Perkebunan selanjutnya BPDPKS. Proses untuk
masing-masing jenjang selama lima hari. Target peremajaan sawit pada 2017
adalah 20.780 ha.
Selain peremajaan sawit, mendorong kualitas benih sawit pun
harus menggalakkan edukasi kepada para petani untuk selalu menggunakan bibit sawit
yang direkomendasikan. Begitu pula untuk pengelolaan lahan kelapa sawit, harus
merujuk pada sistem ramah lingkungan. Di setiap sela pohon sawit sebaiknya
ditanami pepohonan lain untuk menghindari pemanasan global. Misalnya, ditanami
tanaman paku-pakuan, sayuran atau lain-lainnya.
Halo teh Ani �� Wah aku baru tau kalau tanaman sawit ini ada peremajaannya ya 25 tahun. Bisa juga diselingi tanaman lain ya kayak tumpang sari gitu? CPO 37 juta ton per tahun banyak sekaliii. Mesti diperjuangkan nih oleh pemerintah sekalian mensejahterakan petaninya. Lahan udah mulai sempit pula..jadi susah2 gampang untuk memperluas jangkauan penanaman kelapa sawit ini. Semoga pemerintah dan swasta sama2 berperan dg cepat supaya hasil kelapa sawit Indonesia ga terjajah pihak asing.
ReplyDeletewow.. kebaikan yang tak terlihat. hihi. kelapa sawit yang sering kita abaikan, tapi sbenernya bisa utk menaikan pendapatan Indonesia._.
ReplyDeleteKita memang prihatin dengan kondisi ini. Tapi sebaliknya kita juga harus prihatin dengan perkembangan perkebunan sawit ini yang nggak manusiawi. Salah satu contoh, di Jambi, betapa banyak suku anak dalam yang lebih populer disebut orang Kubu, disingkirkan semena-mena dengan melanggar HAM. Padahal mereka hidup di ladang mereka turun temurun, tapi di usir begitu saja.
ReplyDeleteSaya sempat tinggal dilingkungan perkebunan sawit. Kebetulan keluarga angkat suami, memiliki perkebunan sawit didaerah Tebing Tinggi, SumUt. Dan sy menyaksikan sendiri bagaimana kehidupan para petani sawit untuk tetap bertahan hidup ditengah gempuran berbagai macam masalah yang terjadi di area perkebunan. Dari permainan harga oleh pengepul sampai campur tangan investor asing. Kehidupan di area perkebunan sawit pun tidaklah mudah. Semoga nasib perkebunan sawit dapat lebih baik dari yang ada sekarang ini karena banyak perkebunan sawit yg gulung tikar lalu lahan dialihkan untuk kegiatan bisnis yang lain.
ReplyDeleteSawit kalau sudah menghasilkan wow banget, sesuai dengan lama nya masa tanam. Edukasi penting banget buat para petani jangan sampai cita cita dpt untung besar malahan jadi buntung.
ReplyDelete