Bapak Amar Ashad dari APKASINDO |
Pro dan Kontra tentang
perkebuan kelapa sawit masih hangat dan selalu menjadi isu yang ramai
diperdebatkan dalam segala aspek. Ini dikaitkan dengan sustainability selalu seksi dan menjadi senjata serta alasan untuk
menjatuhkan perkebunan sawit.
Kali ini saya ingin
menuliskan pendapat yang berimbang merujuk sejarah perkebunan kelapa sawit cara
lama yang kurang memberi dampak baik secara kondisi lingkungan maupun produktivitas.
Ya, tidak dimungkiri
bahwa dulu, petani sawit belum menerapkan sistem yang teratur dan membuat lahan
perkebunan tidak mengacu pada ketentuan yang ditetapkan. Dan tak semua petani
bersikap seperti itu.
Bagai bola salju,
permasalahan demi permasalahan semakin besar. Temuan-temuan seperti pembunuhan
orang utan, penebangan hutan yang tak berizin dan serangkaian tindakan lainnya
digoreng oleh pihak yang ingin memanfaatkan situasi.
Tetapi, apakah media
juga berimbang dalam memberitakan? Pelaku atau perusahaan yang berbuat hal
tidak patut itu siapa? Apakah mereka mempunyai kewenangan untuk menebang
sembarangan? Apakah mereka itu perusahaan legal? Tentu saja verifikasi berita
itu penting. Perbuatan itu sebagian dilakukan oleh oknum yang tak ingin menaati
aturan. Juga oleh sebagian yang tidak tahu soal kebijakan perkebunan sawit.
Baru-baru ini Uni Eropa
berniat memboikot pasar sawit Indonesia ke Eropa, parlemen nya memutuskan pada
2020 akan menghentikan pasokan sawit sebagai bahan pembuat bio-diesel di sana.
Dengan alasan, Indonesia pemicu pemanasan global dan tidak menerapkan sustainability.
Pada acara Media
Perkebunan di Jakarta, isu hangat ini dibahas oleh narasumber dari APKASINDO selaku Sekjen, Bapak Amar Ashad.
Menurutnya, keputusan parlemen Eropa tersebut akan berdampak langsung pada 5,3
Juta kepala keluarga. Penghasilan yang berkurang bahkan kehilanga pasar. Masa
depan petani sawit terancam.
Menyikapi hal ini,
pemerintah beserta stakeholder membahas
masalah yang terjadi, membuat evaluasi dan merumuskan solusi dengan membentuk ISPO
(Indonesian Sustainability Palm Oil) sebagai
bentuk komitmen dalam menjaga keberlangsungan perkebunan yang tidak merugikan
hutan beserta habitatnya, lingkungan sekitarnya terjaga dan tidak
mengeksploitasi manusia atau hewan dalam teknis pengerjaannya.
Secara garis besar,
ISPO didasari 4 hal, yakni kepatuhan hukum, kelayakan usaha, pengelolaan
lingkungan dan hubungan sosial.
Perusahaan yang
beroperasi dan memiliki sertifikat ISPO mempunyai keuntungan jangka panjang baik
untuk perusahaan itu sendiri maupun bagi lingkungan. Karena dengan merujuk ke
ketentuan ISPO, perusahaan tersebut mematuhi aturan-aturan seperti penyediaan pengelolaan
limbah, ada alokasi dana kemitraan untuk kegiatan kelestarian lingkungan, tidak
membangun perkebunan di area yang dilarang, tidak eksploitasi anak di bawah
umur dalam pengerjaannya, tidak eksploitasi hewan dan penggunaan bibit unggul
secara tepat dosis dan tepat waktu dan lain-lain.
Jika aturan tersebut dilaksanakan,
otomatis produksi dari perkebunan berkelanjutan menghasilkan sawit berkualitas
namun tidak merugikan pihak manapun.
ISPO untuk perusahaan
dievaluasi setiap tiga tahun sekali. Minimal penilaian perkebunannya oleh tim
audit harus mencapai grad 1,2 atau 3. Jika berada di posisi 4 atau 5,
perkebunan tersebut harus diperbaiki dulu sistemnya. Pedoman penilaian ini
sesuai dengan Peraturan Menteri Pertanian No.7/Permentan/OT.140/2/2009 tentang
Pedoman Penilaian Usaha Perkebunan.
Regulasi tersebut sudah
jelas tentunya dan jika beradu argumen bersama parlemen Eropa, dapat dijelaskan
dengan kekuatan data, berapa perusahaan yang menaati atiran, berapa yang sudah
diberikan sanksi karena pelanggaran dan lain sebagainya. Kekuatan itu ada pada
data yang valid. Maka harus selalu dilakukan evaluasi dan research.
Mengapa hingga kini
masih banyak perusahaan yang beroperasi dan melakukan hal yang bertentangan dengan
ISPO? Kembali lagi pada soal komitmen dan pengawasan. Terutama peran pemerintah
daerah dan pejabat-pejabatnya.
Masih ditemui pejabat
yang mementingkan pribadi, dengan memberi izin sembarangan kepada perusahaan
yang tak memenuhi standar. Maka, bukan hal mustahil jika keadaan yang buruk
terhadap citra kelapa sawit itu selalu ada.
Regulasi tak akan
berjalan dengan baik tanpa pengawasan juga evaluasi. Maka, pemerintah daerah
pun harus seiring sejalan dalam menjalankan sistem perkebunan sawit yang
merujuk pada ISPO.
Semua pihak yang
berkepentingan harus melakukan banyak komunikasi dan pertemuan rutin untuk
evaluasi keadaan perkebunan supaya solusi tercipta dan para petani memperoleh
keuntungan dalam jangka panjang.
Pemerintah juga
selayaknya tak hanya melakukan pertemuan dan perdebatan semata dengan parlemen
Eropa tetapi harus benar-benar menguatkan logika, bicara berbasis data yang
kuat dan melakukan banyak evaluasi.
Kelapa sawit yang
menjadi komoditi andalan Indonesia selayaknya dipertahankan dan diselamatkan
pasarnya. CPO (Crude Palm Oil) selain
bisa diolah menjadi minyak nabati dan produk turunan lainnya, CPO juga bisa
diolah menjadikan bahan bakar alternatif pengganti bahan bakar fosil. Hal ini,
salah satunya yang membuat gerah Eropa karena takut tersaingi dengan produknya
berupa minyak kedelai, minyak bunga matahari dan lain-lain.
Padahal perkebunan
sawit jika dibandingkan perkebunan bunga matahari atau kedelai, mereka lah yang
paling banyak menggunakan lahan. Jika dibalikkan soal sustainability, produksi sawit juga kuantitasnya lebih tinggi.
Maka dari itu,
pembenahan perkebunan sawit Indonesia diperlukan agar tidak terjadi pelanggaran
karena jika mengikuti aturan, perkebunan sawit memberi banyak keuntungan dan
lingkungan pun terjaga. Edukasi bagi para pengusaha serta petani perorangan
juga penting. Agar lebih dipahami dan tidak terjadi hal-hal yang bertentangan.
wah aku denger beritanya, nih.. Semoga ke depannya perkebunan kelapa sawit Indonesia makin baik ya teh..
ReplyDeleteSebenarnya pemerintah dan petani sawit sudah bekerjasama untuk memperbaiki tata kelola perkebunan. Sayang, isu-isu yang dilontarkan Uni Eropa memberikan "ruang khusus" Indonesia seperti dimatikan langkah. Pengadilan Belgia sendiri sudah memutuskan membatalkan proposal Parlemen Uni Eropa terhadap pelarangan penggunaan minyak kelapa sawit. Tak ada alasan Uni Eropa untuk tidak memakai minyak sawit ekspor Indonesia. Siasat dan strategi saja kalau Uni Eropa melontarkan isu deforestasi atau merusak lingkungan. Selama ini, kelapa sawit penyumbang terbesar lahan-lahan mati di tanah Indonesia bahkan dunia.
ReplyDelete