Foto: Pixabay |
Kalau soal marah, saya
sering. Untung gak hipertensi. Marah bisa terjadi jika pemicu kemarahan itu
sangat ekstrim alias sudah di luar batas toleransi. Walau kebanyakan orang
bilang saya ini tegas (bahasa halusnya galak dari mereka sebagai julukan untuk saya)
namun saya sebenarnya sangat pemaaf dan cepat lupa dengan kesalahan-kesalahan
yang diperbuat orang lain terhadap saya.
Bahkan sering saya
jatuh iba dan menolong orang yang pernah mendzolimi saya lahir batin (maaf tak
bermaksud riya, hanya contoh kasus) sambil tak mengingat bahwa ia telah
menorehkan luka hingga membuat saya menangis dan perih hati.
Apa sih memangnya
keuntungan dari marah-marah? Yang ada hanya capek hati juga bikin mata sembab.
Belum lagi suasana yang kacau. Kadang-kadang orang tak bersalah menjadi
pelampiasan.
Karena saya pernah ada
di posisi puncak kemarahan yang menguras sekali energi, pikiran dan menjatuhkan
mental, maka di titik itu pula saya merasa harus bertanya pada diri sendiri.
Sejenak saya melipir dari keramaian yang biasanya jadi pemicu atau “kompor”
yang memanfaatkan situasi.
Hal ini mulai saya
lakukan di 2013. Dan ini tips saya dalam mengatasi kemarahan tak berujung itu;
Menghindar
sejenak, Sebaiknya menghindar dulu dari hal-hal yang
menyebabkan kemarahan. Misalnya, orang, organisasi, perkumpulan atau apa saja.
Dengan menghindar, kita akan melalui proses introspeksi diri, evaluasi diri,
menelaah masalah lebih dalam dan berpikir logis mengikuti kata hati. Tidak
terpengaruh oleh orang lain yang biasanya memberi bumbu atau sengaja menambah
sesuatu yang membuat kita tambah marah.
Ajak
pendengar yang baik, Menyepi jangan terlalu sendiri. Bahaya.
Sebaiknya ajak orang yang bisa dipercaya atau bisa menjadi pendengar yang baik.
Orang yang netral dan punya sikap objektif. Sehingga tidak akan memihak ke
mana-mana. Kalau sampai memihak kita sendiri pun itu tidak baik, malah
menjadikan kita tidak menghadapi realita dan permasalahan tidak kunjung
selesai.
Jika tak ada orang yang
bisa diajak bicara atau menjadi pendengar yang baik, ambil buku diary. Jangan
sepelekan buku diary. Karena buku ini bisa mengurangi banyak tumpukan beban
yang ada di hati dan pikiran. Dengan meluapkan segala rasa dan umpatan-umpatan
di sana sedikitnya bikin hati plong
walau belum seutuhnya menyelesaikan masalah. Setidaknya buncahan limbah
perasaan itu sudah berkurang.
Introspeksi
diri, Biasanya, setelah curahan hati didengarkan orang
lain atau setelah dituliskan, hati mulai lega dan pikiran jernih kembali. Seduh
dulu kopi atau teh, lalu ambil buku dan pulpen. List, apa yang membuat kita
marah itu? Lalu tanyakan pada diri sendiri. Mengapa bisa marah?
Jawab dengan jujur,
tidak gengsi atau jaim. Karena yang tahu hanya Allah dan diri sendiri. Biasanya
didapatkan jawaban “Memang saya berhak ya marah atas itu?” “Kok saya begitu
sih, malu-maluin.” atau “Duh saya harus segera minta maaf atau memperbaiki
keadaan” Dan lain-lain. Kalaupun kemarahan itu dianggap wajar, kita juga bisa
melihat sisi pemicu kemarahan itu mengapa bisa terjadi? Jika diuraikan pasti
ketemu jawabannya.
Evaluasi
diri, Saat evaluasi diri biasanya ketemu titik solusi.
Karena di posisi ini kita menjadi menelaah segala masalah secara dalam. Ya,
mengapa secara dalam? Karena kita benar-benar cari jawaban atas kemarahan yang
kita perbuat itu.
Misalnya, saat saya
diajak meeting oleh sebuah perusahaan atau agency untuk brainstorming dan rencana kerja sama. Namun di saat saya sudah
kasih ide habis-habisan hingga memberi tahu strategi dalam presentasi bahkan
sampai memberi data. Ternyata yang diajak kerja sama adalah pihak lain dan
konsep saya yang dipakai. Nah, siapa yang gak marah? Kalau sampai ada yang gak
marah di posisi saya ini, acung jempol deh, anda begitu mulia hehe.
Awalnya, saya kecewa,
perih dan nangis dong. Tapi ya itu tadi, saya pakai solusi yang saya tulis di
atas. Dan dari kejadian itu, saya jadi menelaah bahwa perusahaan bonafid pun
tak menjamin bisa bersikap profesional. Saya juga jadi merasa bangga konsep
saya dipakai walau diri sayanya gak dianggap. Intinya, ambil sejuta hikmah.
Ambil
Hikmahnya, Tak ada yang sia-sia, ketika saya tetap
berkepala dingin dan tidak memviralkan perusahaan maupun individu pemicu
kemarahan tersebut, akhirnya saya mendapatkan banyak hikmah. Saya jadi lebih
berhati-hati, jadi punya strategi dalam presentasi dengan orang atau perusahaan
yang mengajak kerja sama, tidak silau dengan perusahaan bonafid karena belum
tentu mereka profesional. Sebagian ada yang kurang dewasa.
Hikmah lainnya adalah
saya tak kekurangan rezeki walau konsep, lahan atau pekerjaan saya kadang
disalip orang lain juga. Saya jadi percaya Allah Maha Tahu. Dan ketika kita
membuat sesuatu yang terbaik, beneran yang terbaik pun akhirnya mengikuti.
Maka, ketika kecewa,
marah dan dendam kesumat, ayolah bermanai dulu dengan diri sendiri, jika sudah
damai dengan diri sendiri, hati dan pikiran akan logis dan jernih.
Yups, ini pelajaran tingkat tinggi teh, karena enggak gampang mengelola amarah. Buktinya amarah tak kenal usia ya.
ReplyDeleteAku sekarang memilih mengisi batin dengan humor, dengan harapan meminimalkan amarah
"menolong" orang yang pernah menyakiti itu sesuatu banget
ReplyDeleteBener, Mbak.. Menyendiri itu perlu banget waktu mood lagi ngga asik..
ReplyDeleteYah..i feel u teh, pernah ngerasain dizhalimi.
ReplyDeleteAhh, obatnya ya menyendiri dalam keheningan dan berdamai dengan diri sendiri ajah.
Setuju banget teh... Marah cuma bikin kita capek sendiri... Dari pada marah mending makan saja nyok...
ReplyDeleteMengambil hikmah itu memang tidak mudah tetapi jika sudah terbiasa, nikmatnya Masyaa Allah...
ReplyDeleteBanyak ruginya teh dengan menunjukan kemarahan, untung enggak malah jadi menjadi menyakiti diri sendiri.
ReplyDeletetips nya ngena banget teh. Bener banget soal "kompor", bukan meredakan emosi jadi bikin pembenaran soal emosi yang salah tersebut. Hehee
ReplyDeleteMenyendiri dalam keheningan, salah satu cara memang untuk kita mengetahui dan meredam amarah. Thank you teh... selalu menebar inspirasi ^^
ReplyDeletekepala dingin dan hati seluas samudra dahhh pokoknya ya teh...
ReplyDeleteintrospeksi diri terkadang sering saya lupakan Teh saat sudah emosi, padahal itu penting banget ya untuk menganalisa saat kepala sudah dingin.
ReplyDeletemenghindar itu kayak pecundang, tapi buat aku menghindar itu lebih baik
ReplyDeleteakupun pernah berseteru sama seseorang yang dulu dekat banget kayak keluarga, difitnah sana sini, aku diam, lebih banyak menghindar, eh dibilang pecundang
tapi kalau ngelawan, sudah pasti aku bakalan marah dan yang ada masalah tambah runyam
Sayapun termasuk orang yang mudah marah, mba. Tapi suami selalu menjadi pendengar yang baik. Memang meski butuh waktu sendiri kita butuh seseorang yang bisa dijadikan tempat curhat.
ReplyDeleteAni koq mirip-mirip bunda ya sifatnya, hehe...#nyama-nyamain. Itu lho kita itu sama dalam satu hal yaitu mudah melupakan kesalahan orang yang telah, katakankanlah, menyakiti hati ita.
ReplyDeleteBetul sekali, tak ada gunanya sebenarnya amarah itu kita expose...karena akan menyita energy. Nice posting.
Teh Ani makasih tips nya ya, semoga sehat selalu :-)
ReplyDeletekalau lagi esmoni emang paling bener menghindar sejenak.. melarikan diri kepelukan tukang bakso or sis olshop hihihihi esmosi hilang tapi paling dompet menipis, yg penting ngga mengumbar sawer duit kayak bu dendy :D eh kalau itu mah aku jg mau disawer doong :D
ReplyDeleteSayapun demikian jika amarah tengah menguasai..lebih baik menghindar untuk mencari ketenangan diri dahulu
ReplyDelete