Foto dipinjam dari www.pixabay.com (Huhuhu saya gak punya foto Pasar Cisokan yang ngangeni itu) |
Masa remaja saya terbilang
seimbang antara senang-senang dengan teman dan perjuangan memperoleh uang saku
tambahan. Orang tua sudah cukup membiayai hidup tapi sebatas kebutuhan pokok,
untuk makan dan sekolah. Sebagai remaja yang sedang bergairah dalam segala hal,
banyak juga kebutuhan yang penting dimiliki. Seperti ingin punya baju bagus,
ingin punya uang buat nongki cantik bareng teman, ingin punya buku dan alat
tulis yang lucu-lucu dan ingin punya kosmetik buat perawatan wajah serta make up remaja yang hits saat itu.
Jadilah saya mencari banyak
sumber penghasilan di masa remaja. Mulai menjadi MLM sebuah merk kosmetik,
menjual baju rajutan, saat menjual sweater rajutan ini, saya di usia 17 tahun
sudah piawai melobi ke pemilik usaha rajut untuk membantu memasarkan produknya
berupa sweater yang bisa dipesan secara custom
atau request model sendiri.
Tak sulit bagi saya mencari
pembeli barang-barang yang saya pasarkan, cukup teman-teman di sekolah yang
mayoritas saat itu pada centil suka dandan dan berbaju modis.
Lalu apa hubungannya dengan pasar
tradisional? Tentu ada. Saat itu saya sedang berlimpah energi. Membuat saya gak
bisa diam. Karena sekolahan saya lebih dekat ke rumah saudara, jadilah saya
tinggal selama dua tahun di rumah saudara sambil membantu-bantu pekerjaannya
yang menerima pesanan kue lapis suji.
Tak merasa menjadi beban sebab
saat itu banyak hal yang saya kerjakan dan banyak yang saya pelajari saat
membantu membuat kue lapis dan mengirimkannnya ke pasar.
Setiap pagi buta jam 5 saya dan
bibi saya sudah berangkat ke pasar naik becak, kebayang kan? Subuh di Bandung
naik becak yang anginnya menyeruak langsung menerpa kulit bikin saya menggigil
di becak dan membayangkan teman-teman sebaya saya masih pada meringkuk di kasur
berselimut.
Kedinginan itu sirna saat sampai
di pasar, ada Engkong Lim yang punya lapak kue basah dengan ramahnya menyambut,
saya suka banget ngobrol-ngobrol sama engkong ini, ceritanya tentang sejarah
Cina dan kisah perantauannya bikin saya betah di sana. Kalau Bibi saya gak
narik tangan buat berpindah lapak dan toko, saya mungkin masih keterusan
ngobrol.
Lalu bergeser ke Cici Chai Lin,
agak masuk gang pasar untuk ke lapak kue nya. Di sini, saya punya tempat duduk
khusus sambil menunggu Bibi saya belanja bahan untuk kue dan belanja bahan
masakan, saya biasanya nunggu di lapak nya Ci Chai ini sambil minum the hangat
dan makan kue molen kacang hijau unggulan kue di lapaknya.
Sambil ngobrol tentang cita-cita
Cici Chai yang belum kesampaian untuk punya salon sendiri dan kadang bocorin
resep - resep kue yang dijualnya.
Setelahnya, saya dan Bibi ke Toko
Kue Sari Rasa dan Aneka Sari, di sana saya setiap hari bertemu tukang lemper,
tukang kue sus dan kue – kue lainnya. Jika ada yang tersisa dan laku terjual,
biasanya kami saling bertukar kue, saya jadi punya lemper, sus dan lain-lain
hasil barter dengan kue lapis yang tak habis terjual di toko tersebut. Sistem
jualan kue lapis kami tidak secara langsung namun dengan menitipkannya, lalu
besok subuhnya kami ambil sisa yang tak terjual serta uangnya, yang punya lapak
punya keuntungan 2% dari per kue yang terjual.
Kebetulan saat itu saya sekolah
masuk siang jadi dari subuh hingga pagi saya bekerja membantu membuat kue
lapis, mulai dari menumbuk daun suji, membuat adonan, mengukus dan
bersih-bersih setelah memasaknya. Kalau memotong dan membungkus, biasanya malam
setelah saya belajar. Dilakukan bersama-sama sambil becanda dan ngobrol bersama
keluarga saudara. Kadang sambil mendengarkan radio.
Kue Lapis buatan Bibi saya ini
unik, karena tidak berwarna warni seperti biasanya, jadi hanya memiliki dua
warna, putih dan hijau serta tidak menggunakan pewarna buatan karena pewarnanya
dibuat dari campuran daun suji dan pandan yang ditumbuk dan diperas. Tidak
menggunakan pengawet dan gula biang juga. Makanya para pelanggan semua suka dan
kue lapis ini bisa tahan selama tiga hari tanpa dimasukkan ke kulkas.
Ada cerita menarik lagi soal
pasar tradisional ini, sepulangnya, kami sering berburu daun suji ke rumah –
rumah warga yang di halamannya terdapat daun suji, biasanya kami beli atau
ditukar dengan kue lapis, tapi kebanyakan sering yang memberikan gratis karena
menurut pemilik rumah, daun suji cepat tumbuh dan kalau taka ada yang
mengambil. Bisa repot membuangnya. Senanglah kami.
Dari berbagai transaksi di pasar
tradisional inilah saya banyak belajar komunikasi, konsultasi, kiat pemasaran
dan promosi secara mengalir dan praktek. Bersyukur banget bisa mendapatkan
pengalaman berharga ini. Dampaknya terasa hingga sekarang.
Pasar yang selalu membangkitkan
kenangan ini adalah Pasar Cisokan yang terletak di dalam kawasan Cikaso
Jl.Supratman Bandung. Walau pasar tradisional namun pasar ini bersih, rapi dan
semua bahan yang dijual bersih juga. Ingin rasanya nostalgia ke sana tetapi
belum sempat terus jika ke Bandung.
Teh aku jadi inget dulu pas masih kecil aku sering diajak ibuku ke pasar subuh di Banjarmasin sana. Berangkat nya subuh buta gitu teh. Jadi pengen main ke pasar Cisoka.
ReplyDeleteaku belm pernah ke pasar itu taunya pasar andir teh hehe
ReplyDeleteduh cerita kuenya jadi mupeng apalagi lapis ya
bersyukur banget klo pas remaja udah banyak usaha jadi terbiasa ketika dewasa ya teh