“Lho! Kok bisa ya saya sekarang sepede itu bicara di depan orang banyak?” Pernah suatu waktu saya baru menyadari apa yang menjadi aktivitas dominan saat ini. SD dan SMP saya entah mengapa, ketika dihampiri atau diajak ngobrol teman yang bintang kelas apalagi yang primadona serasa bahagia gak ketulungan. Padahal kemampuan akademis sama dan bayar spp juga sama. Pokoknya saat itu saya menilai diri saya sendiri rendah dan tak patut mendapatkan sesuatu yang layak. Apapun perlakuan teman-teman saya saat itu, saya selalu terima. Baik atau buruk, membela diri rasanya hanya sesuatu yang sia-sia.
Jangankan untuk berbicara di
depan umum, membacakan tugas di depan kelas saja, saya sangat terpukul.
Makanya, teman-teman SD dan SMP saat melihat aktivitas saya di sosial media,
rata-rata kaget dan tidak percaya.
Setelah melihat diri saya yang
sekarang, saya merasa ada hal yang ganjil dengan paradigma “bakat” pada
manusia. Selama ini, bakat sering diartikan bahwa suatu kemampuan yang dimiliki
seseorang yang dapat menentukan keberhasilan dan kesuksesan di masa yang akan
datang. Jadi terkadang, ada yang merasa tidak punya bakat tertentu sudah merasa
minder dan mundur duluan. Padahal, setiap manusia semuanya punya dasar
kemampuan umum. Jika dasar tersebut diasah dan dipelajari dengan tekun dan
gigih, bisa memunculkan kemampuan dari bidang yang dipelajarinya.
Apa itu GRIT?
Dipopulerkan Psikolog Angela
Duckworth dari Universitas Pennsylvania. Ia melakukan penelitian terhadap
motivasi respondennya dalam usaha mereka saat mendalami sesuatu untuk mencapai
tujuannya. Dari hasil penelitian ini, Angela menyimpulkan bahwa mayoritas
kegigihan, ketekunan dan gairah terhadap sesuatulah yang menentukan tercapainya
apa yang diinginkan. Jadi, andil bakat tidak sebesar dari komponen-komponen
pembentuk GRIT tadi.
Walaupun tidak punya bakat,
seseorang dapat menguasai kemampuan tertentu dengan jalan menekuninya secara masif dan mempelajarinya dengan berbagai cara,
dengan tujuan menguasai materi dan mendapat goal-nya.
Tak Menyangka Saya Punya GRIT!
Saya tidak punya bakat atau
perkiraan akan berani tampil di depan umum dengan membuka segudang opini dan
sikap kritis. Saat SMP saya ada semangat dan ketertarikan terhadap beberapa hal
tetapi hanya dipendam saja. Punya aspirasi, opini dan banyak hal tetapi
disimpan sendiri atau di dalam lembaran-lembaran dalam buku diary.
Memasuki SMA saya mulai bangkit dan
ada upaya mengubah nasib dan memulihkan kepribadian. Di SMA saya berusaha
membangun relasi yang menyenangkan dengan
teman-teman, megoptimalisasikan semua mata pelajaran untuk mengejar goal prestasi. Karena saya baru
menyadari bahwa di SD dan SMP, saya telah mengizinkan orang lain untuk
merendahkan saya. Maka di SMA saya membuat revolusi besar-besaran.
Alhamdulillah saya berhasil menduduki peringkat 3 besar di setiap semesternya
dan saya berhasil masuk kelas IPA-Biologi.
Tak hanya itu, saya pun mengikuti
kegiatan OSIS dan Palang Merah Remaja (PMR) dan di dua organisasi tersebut saya
terpilih menjadi bendahara. Dari semua kegiatan itu, benih-benih leadership saya muncul. Saya dipercaya
mewakili sekolah untuk hadir dalam berbagai event
di luar termasuk mengikuti lomba PMR se-Bandung Raya. Semakin percaya diri
dan semakin terlatih. Dari sana, saya banyak membaca buku-buku biografi orang
sukses, mulai dari George Washington (Presiden Amerika pertama), Toyyib
Hadiwijaya (Penemu hama cengkeh sedunia) dan masih banyak lagi.
Di bangku kuliah saya semakin
berkembang, semua saya coba dan semakin meluaskan jaringan. First impression saya terhadap minat
dengan pekerjaan yang berhubungan dengan orang banyak adalah saat pertama kali
membuka rekening bank saat SMP, melihat customer service yang cekatan dan luwes
melayani nasabahnya, saya bercita-cita ingin menjadi public relation dan sejenisnya.
Keinginan itu terpatri hingga
lulus kuliah, walau diselingi dengan cita-cita lainnya, seperti ingin menjadi
dokter, akuntan dan lain-lain namun saya akhirnya kembali ke minat pertama.
Walau sudah mengecap dunia akuntan selama 13 tahun dan cita-cita menjadi dokter
tidak kesampaian mengingat kemampuan biaya yang tidak sampai.
Setelah resign dari kantor, saya mendalami ilmu menulis yang merupakan hobi
saya melalui blog, mengikuti berbagai event
hingga akhirnya mendapat kepercayaan menghandle suatu event dari salah satu pemberi kerja pada saat itu. Dari sini,
kemampuan saya terhubung dengan banyak orang, melobi, negosiasi dan lain-lain
secara alami terlatih. Tanpa mentor juga tanpa pendamping. Mengalir saja hingga
saya menemukan banyak titik dan arus yang memancing saya untuk belajar lebih
dalam.
Sebagai praktisi, saya berhasil
dan mampu mengerjakan semua komponen pekerjaan-pekerjaan yang ada hubungannya
dengan marketing communication dan public relation walau dalam pekerjaan freelance. Testimoni baik pun selalu
saya dapatkan dan ini menjadi bekal portofolio saya. Berbekal portofolio ini,
saya mendapat kepercayaan demi kepercayaan lagi dan semakin berkembang.
Karena saya punya goal ingin
mengajar ilmu terkait public relation dan marketing communication, maka saya
pun mengambil kuliah lagi ilmu komunikasi karena membutuhkan kualifikasi lebih
mendalam.
Orang lain mungkin akan berpikir
buat apa saya sudah di kepala empat kok masih mau kuliah lagi sedangkan saya
sudah pernah kuliah? Tentu ini adalah upaya saya untuk mencapai goal karena saya ingin maksimal dalam
berkarya dan memenuhi kapasitas kualifikasi pendidikan yang ingin saya dalami.
Karena ingin mengajar ke depannya, otomatis saya harus benar-benar menguasai
ilmu tersebut secara praktisi juga akademis. Dan ini adalah GRIT saya.
Bertahan Saat Gagal
Angela menjelaskan juga bahwa
untuk mencapai goal yang diharapkan perlu kegigihan untuk bertahan dan tidak
menyerah begitu saja. Misalnya, ketika kalah bertanding, tetap terus latihan
lalu tidak mundur dari pertandingan-pertandingan berikutnya. Begitu pula saat
berbisnis, ketika bangkrut dan berkali-kali mengalami kegagalan, tetap berusaha
untuk bangkit dan mencari strategi lainnya. Pokoknya, terus diperjuangkan.
Dengan effort yang tinggi.
GRIT juga merupakan manifestasi
dari usaha yang dilakukan, misalnya ketika anak saya mendapatkan juara terus
dalam olah raga pencak silat, seharusnya orang-orang bertanyanya seberapa besar
porsi latihan yang sudah anak saya lakukan? Bukan seberapa besar bakat yang
dimilikinya. Sebab jujur saja, anak saya menekuni pencak silat ini juga tidak
sejak kecil namun baru masuk SMP baru ikut ekskul ini. Dari situlah anak saya
rajin berlatih, mencoba berbagai gaya dan mencoba kategori tanding juga seni.
Dari sinilah anak saya menemui GRIT tersebut.
Kesimpulannya, untuk mencapai goal yang diinginkan tidak harus
berpatokan pada bakat namun perbanyaklah effort
dan dalami passion karena dengan GRIT, setiap orang akan menemukan apa yang
menjadi tujuan utamanya.
No comments