Gambar : Pixabay |
Masih melekat di ingatan, cerita di majalah Bobo yang saya baca ketika SD, judulnya Kebun Anggur. Cerita di mana kebun anggur tersebut sedang mencari pegawai untuk mengelola kebunnya dari mulai manajemen hingga produksi tanamannya hingga panen. Ada dua kandidat yang akan bersaing menjadi pegawai tetap. Pemilik kebun tersebut tak hanya menyeleksi melalui wawancara namun mengetes juga melalui kerja langsung ke lapangan.
Kebun anggur tersebut dibagi dua.
Sebelah kanan untuk calon A dan kiri untuk calon B. Mereka harus bekerja selama
satu bulan untuk dinilai performanya. Mereka kelola sesuai dengan pengalaman
dan kemampuan masing-masing.
Sebulan kemudian, masing-masing
melaporkan hasil kerjanya. Calon A melaporkan bahwa kebun yang dikelolanya
berbuah lebat dengan tanaman yang subur. Sedangkan calon B buah yang dihasilkan
tak begitu banyak dan proses pembibitan belum begitu berhasil. Lalu, pemilik
kebun bersama dua calon pegawainya meninjau langsung kinerja mereka. Benar saja,
hasil kerja calon A buah anggurnya ranum dan subur, tanamannya juga terlihat
sehat. Namun si pemilik merasa kecewa karena kebun yang dikelola calon A sangat
berantakan di tanah, daun kering menutupi hampir keseluruhan tanah,
ranting-ranting kering berjatuhan nyangkut di beberapa tanaman anggur yang
masih segar.
Sebaliknya, kebun yang dikelola
calon A, begitu bersih dan rapi walau buah anggur yang dihasilkan tak seranum
yang dikelola calon B. Tetapi si pemilik merasa cocok dengan calon B. Akhirnya
calon B terpilih untuk penjadi pegawai tetapnya dengan memberikan kursus dan
pengayaan kemampuan dalam mengelola kebunnya ke pihak expert.
Calon A merasa tidak terima dan
protes atas keputusan pemilik kebun, dia meyakin kan diri bahwa Ia lebih
kompeten dan mampu membuat produksi buah anggur melimpah. Pemilik kebun tak
mengubah keputusannya karena menurutnya, attitude
lebih utama, kalau skills, masih
bisa dilatih dan dipelajari. Kalau attitude
bawaan yang memerlukan waktu untuk mengubahnya.
Dari contoh cerita di atas, saya
setuju sekali dengan keputusan pemilik kebun karena dari sikap calon A, ada dua
kesalahan dari sikapnya di saat kesan pertama. Misalnya, saat Ia dipercaya
mengelola kebun anggur tersebut, terlalu perhitungan dan tidak punya rasa
memiliki karena tempatnya tidak dibersihkan. Lalu, saat tidak terpilih,
melakukan protes yang tidak sopan dengan mengungkapkan kesombongannya bahwa skills yang dimilikinya lebih layak.
Hal ini dapat menjadi pelajaran
bahwa adab sebelum ilmu adalah satu hal yang penting diperhatikan sebelum
berbuat. Ilmu yang dimilikinya harus digunakan dengan baik dan tepat. Bukan
sekadar dijalankan tanpa hati.
Ada lagi, sebuah contoh saat
menerapkan adab sebelum ilmu, ini adalah pengalaman saya ketika mengikuti
workshop menulis di tempat lain. Karena saya tak pernah berhenti untuk belajar.
Di saat pemateri menjelaskan sesuatu, lalu ada yang tak sepaham atau sedikit
melakukan kesalahan dalam penjelasannya, saya tidak langsung interupsi di saat
kelas sedang berjalan. Bertujuan untuk menghargai dan menjaga harga dirinya di
depan peserta lain. Sebab jika saya langsung interupsi, secara langsung saya
sudah menjatuhkannya dan seolah cari muka mencari simpati peserta agar tertuju
kepada saya. Ini sangat saya hindari.
Untuk meluruskan, saat acara
usai, saya meminta izin untuk menyampaikan materi yang perlu diluruskan tanpa
membuatnya terpojok. Maka si pemateri tersebut pun malah mengucapkan terima
kasih karena sudah dibantu meluruskan sehingga di sesi kelasnya yang lain, tak
dia ulangi lagi kesalahan tersebut.
Adab sebelum ilmu kesimpulannya
adalah mengedepankan adab dulu sebelum meggunakan ilmu yang dimiliki agar ilmu
tersebut tersampaikan dengan baik dan tepat. Ketika mengedepankan adab,
kesalahan akan terminimalisir. Output-nya
menjadi berkah dan tidak menimbulkan kesalahpahaman.
Seorang yang tinggi ilmunya,
tidak akan merasa tinggi hati. Karena dirinya merasa ada di posisi tersebut
karena titipan dari Allah SWT. Misalnya, saat seseorang menjadi pimpinan satu
tim, tetap adab terhadap anak buah dan menyetarakan setara secara manusiawi
namun profesional dalam menjalankan tugas. Saat menginstruksikan sesuatu secara
personal tidak lupa ucapkan minta tolong atau terima kasih.
Betul ya, kita lebih senang pada orang yang tahu adab daripada hanya sekedar punya ilmu saja. Lebih respek pada yang beradab
ReplyDelete