Showing posts with label Opinion. Show all posts

Menumpahkan Kegelisahan Pasca Pemilu 2024, Biar Plong!



Pemilihan umum serentak membuat saya merenung dan ambil hikmah bahwa menjadi manusia beradab tak perlu berpendidikan tinggi, bergelar jabatan tertentu hingga menjadi sosok yang populer. Menjadi manusia cukup dengan punya sikap menahan diri, mengendalikan diri dan bijak menempatkan sesuatu pada tempatnya. Hikmah itu saya rasakan di hari ini, di pemilu yang sedang mengolok-olok demokrasi yang sesungguhnya.

Mengenal GRIT

 


“Lho! Kok bisa ya saya sekarang sepede itu bicara di depan orang banyak?” Pernah suatu waktu saya baru  menyadari apa yang menjadi aktivitas dominan saat ini. SD dan SMP saya entah mengapa, ketika dihampiri atau diajak ngobrol teman yang bintang kelas apalagi yang primadona serasa bahagia gak ketulungan. Padahal kemampuan akademis sama dan bayar spp juga sama. Pokoknya saat itu saya menilai diri saya sendiri rendah dan tak patut mendapatkan sesuatu yang layak. Apapun perlakuan teman-teman saya saat itu, saya selalu terima. Baik atau buruk, membela diri rasanya hanya sesuatu yang sia-sia.

Personal Branding Memberi Panggung Untuk Semua Orang

 


Dea mengeluh saat tak menemukan talent yang pas untuk mengisi acara di perusahaannya. Dea sudah menghubungi beberapa orang hasil rekomendasi temannya yang diperkirakan cocok untuk berbagi pengalaman cara bersosial media yang baik bagi para karyawan. Namun melihat porto folio dan konten sosial medianya, kurang merepresentasikan dirinya sebagai figure yang layak berbagi motivasi. Terlihat apa adanya, kurang memberikan empowerment kepada followers-nya dan sedikit sekali interaksinya.

Adab Saat Ikut Workshop Atau Belajar

Foto : Pixabay


“Teh Ani udah sering jadi pembicara kok masih ikut-ikut kelas menulis?” 

“Acara ini narasumbernya kan dulu yang pernah belajar dari Teh Ani, kok Teh Ani ikutan di sini?”

Dua pertanyaan itu kerap saya dapatkan saat saya mengikuti sesi workshop. Bukannya saya senang atau bangga dengan pertanyaan yang ditujukan seperti itu. Justru saya merasa sedih, bagaimana bisa? Sesama blogger pemahamannya terhadap seorang pembicara hanya sebatas senior dan junior? Juga sebatas siapa guru dan siapa murid?

Kenapa Gak Dari Dulu Ya?


Kalimat di judul tulisan ini kerap terlontar saat merasakan manfaat suatu layanan yang dibantu digital atau sesuatu yang bisa dilakukan online dan malah lebih luas jangkauannya. Efektif, efisien dan harga sangat hemat.

Normal Baru Semakin Jaga Diri



Sampai kapan ya pandemi ini? Pertanyaan ini kerap saya baca di beberapa chat group dan yang ditanya juga bukan pakar kesehatan atau expert yang punya kapasitas untuk menjawab pertanyaan tersebut. Hati saya ngilu kalau sudah mendapati pertanyaan yang dilontarkan entah kepada siapa itu? Mungkin yang bertanya tak berharap juga jawaban tepat seperti ilmuwan. Dia hanya butuh didengarkan dan ada yang menanggapi kekhawatirannya.

RUU Pertembakauan Ancam Generasi Penerus

Perjalanan RUU Pertembakauan yang sudah menjadi pembahasan sejak 2006, bahkan di DPR sendiri belum ada putusan pasti. Membuat kekhawatiran semakin membumbung. Bagaimana tidak? Jika RUU Pertembakauan benar-benar disahkan, akan menjadi ancaman besar untuk bangsa Indonesia.

Bukan sekadar opini sepihak. Jika benar-benar mencermati akibat ke depannya. Banyak yang mempertanyakan, jika RUU Pertembakauan disahkan, apa penyebab kerugiannya dan dari sisi mana? Saya tuliskan di sini sebagai rangkuman jawaban untuk sebagian Followers Twitter saya yang mempertanyakan dengan nada sinis terhadap hashtag #TolakRUUP.

Justika Membantu Blogger dan Netizen Melek Hukum

Blogger dan Netizen adalah yang aktif melakukan kegiatan dalam fasilitas komputer, laptop, gadget dengan dukungan internet. Biasanya mengunggah artikel, status di sosial media atau video. Konten yang dibagikan bermacam-macam tujuannya. Ada yang sekadar hobi ada juga yang menjadikannya sebagai lahan penghasilan.

Konten yang dibagikan biasanya spontan dan ekspresi dari isi hati dan pemikiran. Apa lagi jika sedang emosi dalam mengomentari sesuatu, semua ditulis tanpa memikirkan sebab akibatnya. Dengan alasan kebebasan berkespresi dan hak asasi manusia.

Budi Pekerti Menyelamatkan Segala Perkara

Foto By pixabay.com
Budi pekerti yang baik menjadi dasar kesuksesan seseorang di masa datang. "Memangnya kenapa? Kan sudah pintar, dapat ranking terus di kelas dan juara terus di ekskul." Kata seorang ibu. 
Apa cukup, hanya kepintaran akademis untuk melalui masa depan dan persaingan ketat? Oh tidak.

Pernyataan seorang ibu di atas itu tak memandang luas ke depan dan tak melihat contoh nyata betapa banyaknya remaja saat ini yang terjerembab dalam pergaulan yang tak selayaknya dan banyak penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan.. Tak melihat bagaimana anaknya nanti akan sendiri. Jauh dari orang tua dan keluarga dalam menjemput masa depannya. Jangan dikira, bahwa mengatasi era persaingan, membutuhkan kemampuan emosi juga di samping keahlian yang dimiliki.

Buku Paket Pelajaran Sekolah Turun Temurun


Foto dipinjam dari Twitter @Yoyen (Lorraine Riva)
Zaman saya sekolah, buku paket itu adalah barang istimewa. Sebab dulu itu tak wajib memiliki buku paket, asalkan bisa mengikuti semua pelajaran yang diajarkan guru. Kalau ada PR (Pekerjaan Rumah) biasanya yang tak punya buku paket akan mencatat soal dan merangkum intisari dari bab demi bab. Atau bagi yang  malas mencatat, biasanya akan foto kopi beberapa bagian buku paket tersebut.

Bekal Kemampuan dari Sekolah Kejuruan

Seperti biasa, Saya jika sedang massage dengan tukang urut langganan, namanya Mak Eeng selalu ngobrol sambil diurut. Mak Eeng cerita, sebelum lebaran kemarin mengurangi aktivitas mengurut karena lagi banyak pesanan kue lebaran dan katering untuk buka puasa dan sahur. Beliau pun membawa sampel kue nastar yang rasanya lebih enak dari yang saya beli di supermarket.

“Saya bertanya, kok kue nya enak sekali, Mak. Resepnya dari mana?”

“Resep saya sendiri, Neng. Emak kan dulu sekolah di Sekolah Kepandaian Putri. Kalau sekarang katanya sekolah kejuruan ya, Neng? Gak ada lagi sekolahan emak yang dulu. Enak Neng. Gak perlu sekolah sampai kuliah, tapi segala bisa, diajarkan masak, bikin kue dan menjahit. Ilmunya kepake sampe sekarang.” Katanya.

Menghadapi MEA Dengan Sukacita

Apa itu MEA? Sekilas mirip nama seorang gadis cantik ya? Hahaha, bukan. MEA adalah singkatan dari Masyarakat Ekonomi Asean atau Asean Economic Community (AEC) Menurut Wikipedia, MEA dirancang untuk mewujudkan Wawasan ASEAN 2020. Perdagangan antarnegara ASEAN terintegrasi. Artinya, perdagangan bebas bagi semua negara ASEAN dan Indonesia kebanjiran produk-produk dan tenaga kerja dari negara-negara ASEAN lainnya.

Yang tertangkap di benak masyarakat pasti “takut” atau “terancam” malah sampai ada yang ngedumel, katanya “nambah-nambah masalah saja, sudah banyak pengangguran ditambah lagi tenaga kerja dari luar.” Come on! Bangkit dong jangan sukanya di ninabobo, dalam iklim tropis memang enak ya buat leha-leha. Asal bisa makan dan kumpul saja sudah senang, gak salah sebenarnya pandangan ini, tapi buatlah “Bisa makan dan kumpul sambil produktif dan gak tergantung” Dengan adanya MEA, diharapkan semua bangkit dan terpecut untuk membuat sesuatu yang lebih bernilai ketimbang jalan di tempat. Tak perlu menyalahkan keadaan atau perubahan.